KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr. Wb.
Segala puji dan syukur kita
panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan rahmat, taufik serta hidayah-Nya,
kami dapat membuat makalah SEJARAH ini yang berjudul “PERTEMPURAN SURABAYA”
kami dapat menyelesaikan dengan baik sesuai dan dengan waktu yang telah
ditentukan,
Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan dengan ada nya penyusunan makalah seperti ini.
Makalah ini dibuat dengan sedemikian rupa agar kalian dengan mudah mempelajari
dan memahami pelajaran yang ada dalam makalah ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenai tu, kritik dan saran
sangat berguna bagi pembuatan dan penyempurnaan selanjutnya. Selain itu, ucapan
terima kasih kami haturkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan makalah ini.
Akhirnya, jazakumullahu khairan
katsira.
Wassalamu’alaikumWr. Wb.
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pertempuran Surabaya merupakan
peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda.
Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya,
Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan
pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran
terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi
simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
B. PROSES PERTEMPURAN
SURABAYA
Para
pemuda yang memegang senjata diperintahkan untuk menyerahkan senjatanya.
Ultimatum itu tidak ditaati oleh rakyat Surabaya. Pada tanggal 10 November 1945
terjadi pertempuran Surabaya yang sangat dahsyat. Rakyat Surabaya bertekad
untuk bertempur mati-matian. Kejadian itu merupakan sebuah lambang keberanian
dan kebulatan tekad dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa 10
November itu diperingati setiap tahun sebagai hari Pahlawan oleh seluruh bangsa
Indonesia.
Penyebab Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya
Kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan 17 agustus 1945. Segala cara dilakukan untuk
menyebarkannya. Tujuannya, agar rakyat di berbagai daerah mengetahui
kemerdekaan indonesia. Di Surabaya, berita proklamasi diketahui pada tanggal 20
Agustus 1945. Berita tersebut dimuat dalam surat kabar Soeara Asia. Berita
proklamasi kemudian tersebar luas ke seluruh Surabaya. Para pemuda dan rakyat
Surabaya melakukan berbagai usaha untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Namun, usaha ini mendapat halangan dari tentara Jepang dan para Indo-Belanda
yang ada di Surabaya.
Pasukan
sekutu mendarat di Surabaya tanggal 25 oktober 1945 dibawah pimpinan A.W.S.
Mallaby dari inggris. Kedatangan tentara sekutu yang diboncengi NICA tersebut
semakin menimbulkan kecurigaan pemuda surabaya karena tentara sekutu segera
membebaskan orang-orang belanda yang ditahan jepang dan menduduki pelabuhan
tanjung perak serta gedung internatio. Pada tanggal 27 oktober 1945,pesawat
terbang inggris menyebarkn pamflet yang memerintahkan kepada rakyat Surabaya
untuk menyerahkan senjata yang dirampas dari tentara jepang. Melihat gerakan
sekutu, para pemuda surabaya segera melakukan perlawanan sehingga terjadilah
bentrokan bersenjata secara sporadis dikota surabaya selama 3 hari sejak
tanggal 28 oktober sampai 30 oktober 1945. Sekitar 20.000 pasukan TKR dan
120.000 pemuda pejuang melakukan perlawanan sengit terhadap tentara
inggris.dalam pertempuran tersebut ,pasukan inggris dapat dipukul mundur
.bahkan jendral Mallaby dapat ditawan oleh para pemuda surabaya,dan sekutu prgi
menghadap presiden Sukarno,wakil presiden Hatta, dan menteri penerangan Amir
syarifuddin untuk merundingkan gencatan senjata dengan panglima sekutu jenderal
Sir Philip Christison dan menetapknan tanggal 30 oktober1945 sebagai dimulainya
gencatan senjata.
Sehari
kemudian, tentara sekutu menyerang penjara Kalisosok. Tindakan Sekutu terus
berlanjut. Mereka juga menduduki Pelabuhan Tanjung Perak, Kantor Pos Besar,
Gedung Internatio, dan objek-objek penting lainnya.
Tindakan
tentara sekutu menimbulkan kemarahan rakyat Surabaya. Pada tanggal 28 Oktober
1945, pertempuran meluas di beberapa tempat di Surabaya. Untuk meredakan
situasi maka Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Amir Syafiruddin, dan Jendral
Hawtron melakukan perundiangan gencatan senjata.
Pengumuman
gencatan senjata telah disebarluaskan ke wilayah Surabaya. Namun, pertempuran
masih berkecamuk di beberapa tempat. Brigjen Mallaby dan pasukannya bertahan di
Gedung Internatio, dekat Jembatan Merah. Terjadi tembak-menembak antara pasukan
Inggris dan Para Pemuda. Dalam peristiwa tersebut, Mallaby terbunuh.
Kematian
Mallaby membuat sekutu marah. Sekutu mengeluarkan ultimatum kepada rakyat di
Surabaya. Ultimatum dikeluarkan tanggal 9 November 1945. Isi ultimatum ini
adalah agar warga Surabaya menyerahkan diri pada sekutu. Batas akhir penyerahan
diri adalah pukul 06.00 WIB tanggal 10 November 1945.
Rakyat
Surabaya tidak gentar. Mereka tidak menghiraukan ultimatum sekutu.
Pertempuranpun terjadi pada tanggal 10 November 1945. Kota Surabaya diserang
dari darat, laut, dan udara. Rakyat surabaya berjuang mempertahankan
kemerdekaan. Mereka dipimpin Gubernur Suryo, Bung Tomo, dan kolonel Sungkono.
Pertempuran berlangsung selama tiga minggu.
C. KRONOLOGI PERTEMPURAN SURABAYA
Sebab-Sebab
dan juga kejadian Perang itu sendiri..supaya lebih menarik sebagai sebuah
bacaan untuk belajar tentang Sejarah Bangsa Indonesia, khususnya semangat
Arek-arek Suroboyo pada waktu itu dalam mengusir penjajah
23 September 1945
Kapten
Huijer dari Angkatan Laut Belanda adalah wakil sekutu pertama yang menjejakan
kakinya di Surabaya untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan dan ini
mengindikasikan bahwa Belanda-lah yang akan mempelopori pengambil-alihan
Surabaya dari Jepang setelah ‘kesalahan-kesalahan’ pasukan Inggris ketika
mengambil alih Semarang.
28 September 1945
Huijer
mendatangi markas Laksamana Madya Yaichiro Shibata, pimpinan tertinggi pasukan
Jepang di Surabaya, agar melimpahkan seluruh kekuasaannya termasuk senjata yang
berada di bawah komando dirinya kepada Huijer. Namun demikian sebagaimana sikap
kaigun yang lain (seperti Laksamana Maeda di Jakarta), Shibata sangat simpati
dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia oleh karena itu ia menyerahkan senjata
kepada Komite Nasional Indonesia Surabaya (KNI-Surabaya) yang dipimpin oleh
Soedirman dan Doel Arnowo. KNI-Surabaya sendiri berjanji akan menyerahkannya
kepada sekutu pada waktunya.
Tetapi
KNI-Surabaya tidak memiliki kemampuan untuk mengelola persenjataan bekas
tentara angkatan laut Jepang sehingga mereka menyerahkannya ke Badan Keamanan
Rakyat (BKR), kelompok-kelompok pemuda, pasukan-pasukan polisi dan bahkan
milisi/laskar yang masih belum terorganisir dengan baik.
1 Oktober 1945
Terjadi
perkelahian diantara pemuda-pemuda Indonesia dan Belanda yang dengan cepat
berubah menjadi aksi massa di seluruh kota. Mereka menyerang lapangan udara
Morokrembangan dan kamp interniran yang terletak di daerah pemukiman Darmo.
Sementara itu markas Kempetai dan Angkatan Darat Jepang dikepung oleh sejumlah
laskar yang bersenjatakan apa adanya, dari bambu runcing hingga ke senapan
mesin.
4 Oktober 1945
Surabaya
telah menjadi kamp bersenjata yang seluruhnya dalam tangan Indonesia. Semua
penjara dibuka dan penghuni-penghuninya, apakah mereka ditahan atas tuduhan
politik atau pidana telah bergabung ke dalam massa yang berkerumun di dalam
kota itu. Pada hari itu juga Shibata memberitahukan kepada bawahannya bahwa
Huijer-lah yang bertanggung jawab atas keamanan kota tersebut.
8 Oktober 1945
Gubernur,
TKR dan polisi berangsur-angsur kehilangan kekuasaannya, yang kemudian
seluruhnya terseret menjadi ‘anarki’. Rasa permusuhan terhadap Jepang dan
Belanda yang begitu mendalam di kalangan pemuda, menyebabkan mereka
melaksanakan pengadilan rakyat yang membabi-buta yaitu dengan menghukum mati
para tawanan (Jepang, khususnya) dengan melakukan hukuman mati dengan cara
pemenggalan leher.
Kapten
Huijer pun menjadi tahanan TKR demi keselamatan dirinya.
12 Oktober 1945
Tiba
seorang pemuda dari Jakarta yang bernama Soetomo atau yang kemudian dikenal
dengan nama Bung Tomo, seorang wartawan yang bekerja di kantor berita Domei. Ia
membawa gagasan mendirikan pemancar radio, yang kemudian diberi nama “Radio
Pemberontakan” sebagai sarana untuk menciptakan solidaritas massa dan
memperbesar semangat perjuangan pemuda
13 Oktober 1945
Bung
Tomo membentuk Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI), sebagai suatu
organisasi yang terpisah dari PRI yang dipimpin oleh Soemarsono. Dan
siaran-siaran radio yang dilakukan oleh Bung Tomo tidak hanya berhasil
mempengaruhi masyarakat santri yang memang menjadi mayoritas di Jawa Timur dan
Madura, namun juga pemimpin-pemimpin “merah” terutama yang berada di dalam PRI.
22 Oktober 1945
Nahdhatul
Ulama dari seluruh Jawa dan Madura melangsungkan rapat raksasa di Surabaya yang
mana mereka menuntut, “Memohon dengan sangat kepada pemerintah Republik
Indonesia soepaja menentukan soeatoe sikap dan tindakan jang njata terhadap
tiap2 oesaha jang membahajakan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap
pihak Belanda dan kaki tangannja” (Antara, 25 Oktober 1945)
25 Oktober 1945
Inggris
mendarat di Tanjung Perak Surabya dengan dipimpin oleh Brigadir Jenderal
Mallaby yang juga merupakan Panglima Brigade ke-49 dengan tugas utama
mengungsikan pasukan Jepang dan para interniran. Brigade ini berjumlah kurang
lebih enam ribu pasukan dengan membawa juga pasukan elit Gurkha.
Selanjutnya
Mallaby sendiri dan wakilnya, Kolonel Pugh, pertama-tama disambut oleh Mustopo,
kepala TKR-Surabaya, dan Atmadji, bekas aktivis Gerindo, yang mewakili TKR
Angkatan Laut. Setelah mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Mustopo,
Mallaby menegaskan bahwa sekutu tidak akan menyelundupkan di tengah-tengah
mereka pasukan Belanda dan NICA (Netherland Indies Civil Administrastion).
26 Oktober 1945
Tanpa
data intelejen yang komprehensif tentang kondisi Surabaya dan masyarakatnya
yang sedang bergolak, Mallaby mengirim 1 peleton pasukan yang dipimpin oleh
Kapten Shaw untuk menyelamatkan Kapten Huijer. Masyarakat Surabaya mulai
kehilangan kepercayaan terhadap Mallaby dan pasukannya.
Kondisi
diperparah dengan selebaran yang disebarkan melalui udara ke seluruh kota di
Surabaya atas perintah Mayor Jenderal Hawthorn, panglima sekutu di Jakarta.
Selebaran itu intinya berisi bahwa pihak Indonesia harus menyerahkan seluruh
senjata mereka dalam waktu 48 jam. Tuntutan seperti ini akhirnya membatalkan
perjanjian yang telah dilakukan oleh Mallaby dan Moestopo.
27 Oktober 1945
Sekutu
mulai melakukan agresinya. Pada dasarnya komandan-komandan sekutu masih
memandang rendah terhadap kemampuan bangsa Indonesia mempertahankan
kemerdekaannya. Apalagi mereka begitu membanggakan brigade 49-nya dengan
mendapatkan julukan “The Fighting Cock” selama bertempur melawan Jepang di
hutan-hutan Burma.
28 Oktober 1945
Pasukan
sekutu mengambil alih lapangan udara Morokrembangan dan beberapa gedung penting
seperti kantor jawatan kereta api, pusat telephon dan telegraf, rumah sakit
Darmo dna lainnya.
Pertempuran
besar pun tak terelakan antara 6000 pasukan Inggris dengan 120.000 tentara dan
pemuda Indonesia. Akibat kalah jumlah, Mallaby meminta bantuan Hawthorn agar
pihak Indonesia menghetikan pertempuran. Hawthorn pun meminta Soekarno agar mau
membujuk panglima-panglimanya di Surabaya menghentikan pertempuran.
Begitu
terjepitnya hingga dalam buku Donnison “The Fighting Cock” ditulis “Narrowly
escape complete destraction” alias hampir musnah seluruhnya.
29 Oktober 1945
Soekarno,
Hatta dan Amir Sjarifoedddin datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
Kemudian
setelah membujuk agar tentara dan pemuda menghentikan pertempuran, mereka
bertiga ditambah tokoh-tokoh Surabaya seperti Soedirman, Soengkono, Soerjo dan
Bung Tomo melakukan perundingan dengan Mallaby dan Hawthorn. Hasil
perundingannya adalah tentara sekutu sepakat untuk mundur dari Tanjung Perak
dan Darmo, sementara Indonesia setuju mengizinkan interniran lewat secara bebas
diantara kedua sektor itu.
30 Oktober 1945
Sewaktu
melakukan patroli, mobil Buick yang sedang ditumpangi Brigjen Mallaby dicegat
oleh sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Karena
terjadi salah paham, maka terjadilah tembak menembak yang akhirnya membuat
mobil jenderal Inggris itu meledak terkena tembakan. Mobil itu pun hangus.
Kematian Jenderal Inggris itu
menjadi titik tolak untuk peristiwa-peristiwa yang lebih dasyat berikutnya.
Letnan Jenderal Christinson, komandan Pasukan Sekutu di Hindia Belanda (AFNEI)
memberikan peringatan keras terhadap Indonesia. Ia kemudian mengirimkan seluruh
Divisi Infanteri ke-5 lengkap dengan peralatan tank ke Surabaya dibawah
pimpinan Mayor Jenderal Mansergh. Kekuatannya berjumlah sekitar 15.000 pasukan.
1 November 1945
Kapal
perang HMS Sussex muncul di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Selama minggu
berikutnya sekitar 8000 interniran berhasil dipindahkan ke kapal perang.
d. Tiga
Tokoh Jadi Pemeran Utama Saat Pertempuran 10 November
Senin,
10 November 2014 15:39
surya/ahmad
zaimul haq
Pementasan
teater kolosal Surabaya Membara, dalam rangka menyambut peringatan Hari
Pahlawan 10 Nopember di Jl Pahlawan depan kantor Gubernur, Minggu (9/11/2014).
SURYA
Online, SURABAYA - Pertempuran legendaris di Surabaya pada 1945 silam selalu
diidentikkan dengan nama Sutomo atau yang akrab disapa Bung Tomo.
Padahal,
dalam catatan sejarah 'embongan’ ada nama lain yang berperan jauh lebih besar
dari Bung Tomo yang lebih menonjol dengan pidato agitatifnya ketika Arek-arek
Suroboyo berjibaku melawan tentara Sekutu dan Belanda.
Banyak
orang tidak tahu, peran utama dalam pertempuran yang menyedot mata dunia itu
dimainkan orang-orang macam HR Mohamad Mangoendiprodjo, Soengkono, dan
Moestopo.
Bahkan,
dalam buku Pertempuran 10 November 1945 diceritakan bahwa Bung Karno dan Bung
Hatta menjuluki Moestopo sebagai ‘pemberontak’.
“Memang,
lebih baik berontak mati dalam perjuangan daripada dijajah bangsa asing lagi,”
kata Moestopo kepada Bung Karno dan Bung Hatta di Surabaya sebelum perang
meletus, dikutip dari buku Pertempuran 10 November 1945.
Moestopo
saat itu dikenal sebagai dokter gigi yang menjabat Menteri Pertahanan ad
Interim.
Moestopo juga menjabat Kepala Badan
Keamanan Rakyat (BKR) Jatim, sedangkan Soengkono sebagai Kepala BKR Surabaya.
e. Akibat dari pertempuran Surabaya
Peristiwa
pertempuran pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya sebenarnya merupakan
dampak yang dipicu oleh peristiwa-peristiwa sebelumnya mulai dari kedatangan
pasukan Jepang di Indonesia pada tanggal 1 maret 1942 yang kemudian melahirkan
perjanjian kalijati antara Jepang dan Belanda. Namun hal utama yang menjadi
latar belakang pertempuran Surabaya adalah pengibaran bendera Belanda di hotel
Yamato pada tanggal 18 September 1945.
Para
pemuda Surabaya yang terkenal dengan sebutan arek-arek Surabaya jelas merasa
gusar melihat tindakan Belanda yang tidak menghargai dan tanpa ijin mengibarkan
bendera merah-putih-biru di wilayah Indonesia. Republik Indonesia yang saat itu
secara resmi telah memproklamasikan kemerdekaan jelas merasa dicemooh oleh
tindakan Belanda ini. Arek-arek Surabaya tidak tinggal diam melihat
kesewenangan Belanda di tanah air yang dapat disimpulkan bahwa mereka ingin
menunjukkan kekuasaannya kembali di Indonesia. Lagi pula kobar semangat
arek-arek Surabaya yang pada saat itu tengah melakukan aksi pengibaran
merah-putih di segala penjuru secara langsung berkumpul di depan halaman hotel
Yamato.
Pada
tanggal 18 September 1945 tersebut memang terjadi suatu diplomasi antara pihak
Indonesia dan Belanda di dalam hotel Yamato yakni dengan datangnya Soedirman
sebagai wakil Pemerintahan Indonesia dengan dikawal ketat oleh Hariyono dan
Sidik untuk berunding dengan Pihak Belanda yang diwakili oleh Mr. Ploegman
beserta pasukan. Dalam diplomasi tersebut Belanda menolak untuk menurunkan
benderanya dari puncak tertinggi hotel Yamato dan justru menyerang pihak
Indonesia dengan mengeluarkan pistol. Sidik sebagai pengawal dan bertugas
menjaga Soedirman tentu secara reflek menyerang kembali Poegman hingga tewas.
Namun sayang Sidik sendiri kemudian tewas ditangan pasukan Belanda.
Soedirman
bersama Hariyanto yang berusaha keluar mencari perlindungan dari serangan
pasukan Belanda akhirnya disambut oleh arek-arek Surabaya yang tengah berkumpul
di luar hotel. Selanjutnya Soedirman bersama Kusno Wibowo kembali masuk dalam
hotel dan memanjat tiang bendera unuk merobek warna biru bendera Belanda dan
kemudian mengibarkannya kembali menjadi merah-putih.
Hal
tersebut menjadi latar belakang pertempuran Surabaya yang kemudian secara
berentet terjadi pertempuran pada tanggal 27 Oktober antara arek-arek Surabaya
melawan Inggris yang pada saat itu memihak Belanda. Pertempuran ini terus
terjadi hingga Jenderal Hawthorn meminta Presiden RI untuk meredakan
pertempuran. Pada tanggal 29 Oktober perjanjian diplomasi antara Indonesia dan
Inggris ditandatangani dengan adanya genjatan senjata. Namun pada hari
berikutnya karena masih labilnya kondisi psikis para pasukan baik dari
Indonesia maupun Inggris kembali terjadi pertempuran antara Indonesia dengan
pihak AFNEI/ inggris yang menewaskan Jenderal Mallaby.
Pertempuran
Surabaya 10 November 1945
Setelah
peristiwa yang menewaskan Jenderal Mallaby tersebut pihak Inggris mengutus
Robert Mansergh sebagai penggantinya yang kemudian mengeluarkan ultimatum
terhadap pihak Indonesia agar para tentara maupun pemuda yang bersenjata
menyerahkan diri dengan batas akhir tanggal 10 November 1945 serta menyerahkan
senjata mereka sebelum jam enam pagi.
Ultimatum yang dikeluarkan pihak Inggris
tersebut jelas membakar amarah para pejuang hingga menolak semua keinginan
tersebut. Hari bersejarah tersebut benar-benar datang dimana pada tanggal
10 November pasukan Inggris secara
membabi buta melakukan serangan terhadap pasukan Indonesia dan rakyat di
Surabaya. Kendaraan tempur seperti pesawat dan tank milik Inggris semua
dikerahkan untuk membungihanguskan Surabaya. Serangan udara dengan menjatuhi
bom daerah-daerah pemerintahan Surabaya jelas mengakibatkan banyaknya korban
jiwa dari pihak Indonesia.
Siapa
yang tak marah jika tanah air mereka diusik oleh pihak luar. Hal ini pula yang
kemudian melahirkan tokoh-tokoh pejuang seperti Bung Tomo dan KH. Hasyim
Asy’ari untuk mengkoordinir semua kalangan mulai dari pasukan bersenjata, para
santri, bahkan rakyat sipil semuanya bersatu untuk melawan kesewenangan
Inggris.
Pertempuran
10 November 1945 menjadi pertempuran terbesar sepanjang perjuangan Indonesia
dalam mempertahankan kemerdekaan. Ribuan rakyat Indonesia tewas dalam
pertempuran tersebut begitu pula dengan pihak Inggris. Pasukan yang didatangkan
dari India juga menjadi korban dari pertempuran tersebut.
Tercatat
lebih dari 10.000 rakyat Indonesia dan juga pasukan Inggris tewas dalam
pertempuran Surabaya.
Setidaknya
6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi
dari Surabaya. [2]. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah
600. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut
telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir
penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan
rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang
sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar