Minggu, 03 Desember 2017

MAKALAH RAMBU SOLO



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Di Indonesia banyak suku bangsa dari barat hingga timur,namun dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia ada suku bangsa yang memiliki pola kehidupan yang unik.Yaitu pola kehidupan yang terdapat pada masyarakat Tanah Toraja. Suku Tanah Toraja adalah suku yang menetap dipegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya di perkirakan sekitar 650.000 jiwa,dengan 450.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tanah Toraja.
Salah satu adat budaya yang mencerminkan hubungan manusia dan alam semesta dan sesamanya adalah Rambu solo.’Rambu solo’merupakan salah satu bukti warisan budaya yang masih dipertahankan hingga saat ini oleh masyarakat Tanah Toraja.Rambu solo’atau yang dikenal sebagai pesta adat kematian, bertujuan untuk menghormati para leluhur mereka dan untuk menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh. Upacara adat ini,berbeda dengan upacara-upacara kematian biasanya.Upacara adat Rambu solo’ini diadakan dengan sangat meriah dan mewah layaknya sebuah pesta.Upacara ini tidak sedikitpun melambangkan upacara kematian tetapi lebih berupa pesta perayaan. Mereka meyakini bahwa dengan mengadakan upacara adat ini rohnya dapat diiringi sampai mencapai Nirwana keabadian.
Pada upacara kematian ini penggunaan simbol-simbol sangat penting,salah satunya adalah penggunaan simbol kerbau sebagai syarat utama dalam upacara kematian Rambu Solo. Sama seperti adat-adat lainnya yang menggunakan simbol adat Rambu Solo juga menggunakan simbol yaitu kerbau. Masyarakat Tanah Toraja meyakini bahwa kerbau inilah yang nantinya akan membawa (roh orang mati menunggangi kerbau).Kerbau di kehidupan masyarakat Tanah Toraja merupakan hewan yang sangat tinggi maknanya dan dianggap suci juga, melambangkan tingkat kemakmuran seseorang jika memilikinya karena harga satu ekor kerbau jutaan sampai ratusan juta rupiah.




B.            Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejrah suku toraja ?
2.      Dimana letak suku toraja ?
3.      Apa yang dimaksud dengan upacara rambu solo ?
4.      Bagaimana tingkatan-tingkatan dalam pelaksanaan upacara rambu solo ?
5.      Bagaimana prosesi upacara rambu solo ?

C.           Tujuan
1.      Mengetahui sejarah suku toraja
2.      Mengetahui dimana letak susku toraja
3.      Mengetahui upacara rambusolo
4.      Mengetahui tingkatan dalam pelaksanaan upacara rambu solo
5.      Mengetahui prosesi upacara rambu solo
















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Sejarah Suku Toraja
Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal suku Toraja. Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penutur bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan budak yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen ProtestanKatolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
B.       Letak Kabupaten Toraja
Kabupaten Tana Toraja merupakan salah satu dari 23 kabupaten yang ada di propinsi Sulawesi Selatan yang terletak diantara 2º20´sampai 3º30´ Lintang Selatan dan 119º30´ sampai 120º10´ Bujur Timur. “Ibukota” Tator yakni kota kecil Rantepao adalah kota yang dingin dan nyaman, dibelah oleh satu sungai terbesar di Sulsel yakni sungai Sa’dan, sungai inilah yang memberikan tenaga pembangkit listrik untuk menyalakan seluruh Makasar. Secara Sosio linguistik, bahasa Toraja disebut bahasa Tae oleh Van Der Venn. Ahli bahasa lain seperti Adriani dan Kruyt menyebutnya sebagai bahasa  Sa’dan. Bahasa ini terdiri dari beberapa dialek , seperti dialek Tallulembangna (Makale), dialek Kesu (Rantepao), dialek Mappapana (Toraja Barat).
Batas-batas Kabupaten Tana Toraja adalah:
1)      Sebelah Utara : Kabupaten Luwu, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamasa
2)      Sebelah Timur : Kabupaten Luwu
3)      Sebelah Selatan : Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang
4)      Sebelah Barat : Kabupaten Polmas
Luas wilayah Kabupaten Tana Toraja tercatat 3.205,77 km² atau sekitar 5% dari luas propinsi Sulawesi Selatan, yang meliputi 15 (lima belas) kecamatan. Jumlah penduduk pada tahun 2001 berjumlah 404.689 jiwa yang terdiri dari 209.900 jiwa laki-laki dan 199.789 jiwa perempuan dengan kepadatan rata-rata penduduk 126 jiwa/km² dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata berkisar 2,68% pertahun.
C.      Penjelasan  Mengenai Rambu Solo’
Mitologi Toraja, menceritakan pada mulanya langit dan bumi masih bersatu. Ketika langit dan bumi berpisah, lahirlah tiga dewa yaitu: Pong Tulak Padang (berdiam di bawah bumi), Pong Bangga-irante (berdiam di permukaan bumi), dan Gaun Tikembong (berdiam di langit). Ketiga dewa ini dikenal sebagai  Puang Titanan Tallu, Tirindu Batu Lalikan  (tri dewa). Mereka yang menciptakan matahari, bulan dan bintang.
Gaun Tikembong kemudian  mengambil sebuah rusuknya dab menjadikan dewa yang disebut: Usuk Sambaban, yang kemudian kawin dengan Simbolok Manik yang keluar dari batu kemudian melahirkan Puang Matua. Puang Matua kawin dengan Arrang di Batu, dan dari perkawinan inilah Puang Matua melanjutkan proses penciptaan dengan kelahiran delapan orang anak kembar sauna sibarrung (pupulan kembar) yaitu: Datu Laukku sebagai nenek moyang manusia; Allo Tiranda sebagai nenek moyang racun; Laungku sebagai nenek moyang kapas; Pong Pirik-Pirik sebagai nenek moyang hujan; Menturiri sebagai nenek moyang ayam; Menturino sebagai nenek moyang kerbau, Riakko sebagai nenek moyang besi, Takkebuku sebagai nenek moyang padi. Ciptaan yang lainnya lahir dari abu bekas ciptaan pupulan kembar, yang disebarkan kemudian oleh Puang Matua.
Puang Matua kemudian menurunkan manusia pertama ke bumi yaitu Puang Bura Langi’. Ia kawin dengan wanita yang berasal dari dalam air bernama Kembong Bura. Dari perkawinan ini lahir keturunan manusia pertama di bumi (Pongmula Tau). Kedatangan Puang Bura langi ke bumi juga dikawal oleh hambanya, Pong Pakulandi dengan memikul Aluk serba lengkap, yang disebut Aluk 7777777 atau Aluk Sanda Pitunna (serba tujuh). Keturunan Puang Londong di Rura diceritakan sebagai manusia pertama di dunia yang melanggar Aluk yang dibawa oleh nenek moyangnya. Ia sangat kaya mempunyai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Karena takut hartanya lari pada orang lain, ia mengawinkan anak-anaknya menjadi pasangan suami-istri. Akibat pelanggaran terhadap Aluk yang merupakan tata aturan sosio religius, maka ia ditenggelamkan oleh Puang Matua. Eran di Langi (eran: tangga, langi’: langit) yang menghubungkan dunia dan langit diruntuhkan. Ini bermakna simbolik bahwa hubungan manusia dengan dewa-dewa menjadi terputus sama sekali.
Sebagai pembaharu yang memulihkan kembali hubungan antara langit dan bumi adalah Pong Tandilino’ atau Tangdililing (alas bumi). Ia dibantu oleh Pong Suloara’ yang membangun kembali tata aturan sosio religius. Pong Tandilino’ kemudian membuat Tongkonan pertama di dunia yang terletak di Marinding Kecamatan Mengkedek. Tongkonan ini dikenal dengan nama: Banua Puan atau Ramba Titodo’. Dari rumah Tongkonan inilah berasal seluruh nenek moyang orang Toraja.
Dari cerita ini, jelas dalam kepercayaan orang Toraja, prinsip totalitas menjadi dasar untuk memahami fenomena sosio-kultural dan sisio religius. Segala sesuatu di dalam kosmos dianggap berhubungan secara organis dan tidak dapat dipisahkan secara nyata. Puang Matua merupakan pusat totalitas itu, tetapi dalam keyakinan Aluk Todolo, ia hanyalah merupkan latar belakang saja (Deus Otiosius). Ia tidak mempengaruhi kehidupan manusia secara aktif. Ia bertempat tinggal di langit, berkuasa, terlalu jauh, tidak terhampiri walaupun menaungi alam semesta serta abadi. Ia adalah primus inter pares (yang pertama di antara yang sederajat) di antara dewa-dewa lainnya. Karena itu namanya baru disebut dalam ritus-ritus pemujaan pada upacara-upacara besar, seperti ma’bua’ atau merok.
Bertolak dari kosep totalistik ini maka semua tatanan kehidupan tidak terlepas dari nilai-nilai religius menjadi ultimate value bagi seluruh kehidupan , dan aluk adalah sumber dan akar dari seluruh tatanan sosial budaya Toraja baik dalam dimensi material maupun dimensi spiritual. Aluk mempunyai pegertian yang sangat luas yaitu: dalam Agama, hal berbakti kepada ilah atau dewa; yang kedua dalam upacara adat atau agama, dan ketiga, dalam perilaku dan tingkah laku.









Aluk sanda  pituna (aluk 7777777) menjadi filsafat hidup orang Toraja. Dimana manusia Toraja memandang kehidupannya sebagai suatu siklus atau suatu lingkaran yang tidak dapat diulangi. Tujuan hidup ialah kembali ke asalnya setelah segala ritual dipenuhi.Aluk 777777 yang bermakna sempurna mencakup semua bidang kehidupan antara lain:
1.      Aluk Simuane Tallang (ritual-religius berpasangan) yang terdiri dari:
a.       Aluk Rambu Tuka’ (aluk rampe matallo), yaitu ritual-religius kesukaan.
b.      Aluk Rambu Solo’ (aluk rampe matampu’) yaitu ritual-religius kedukaan
2.      Aluk Talu Lolona yaitu: ritual religius yang berhubungan dengan tiga makhluk hidup:
a.       Alukna Lolo tau (yang menyangkut  kehidupan manusia)
b.      Alukna Lolo Tahanan (yang menyangkut tanaman)
c.       Alukna Lolo Patuoan (yang menyangkut hewan)
3.      Aluk Rampanan Kapa (yang menyangkut perkawinan)
4.      Aluk Banua (yang menyangkut bangunan rumah)
5.      Aluk Padang (yang menyangkut tanah)
6.      Aluk Tananan Pasa’ (yang menyangkut pasar)
Jadi seluruh tatanan kehidupan masyarakat Toraja diatur oleh aluk. Segala sesuatu didasarkan pada aluk, karena tanpa aluk kehidupan menjadi sia-sia. Yang melanggar aluklangsung mendapat hukuman dalam kehidupan ini. Hukuman ini dapat dihapus dengan melakukan Massuru’ (penebusan dosa).
D.         Tingkatan-tingkatan dalam Pelaksanaan Rambu Solo’
Dalam keyakinan Aluk Todolo orang yang sudah meninggal dunia tetapi belum diupacarakan masih dikategorikan tomakula’ (makula’=panas, sakit). Ia tetap dilayani oleh keluarganya sebagai mana layaknya melayani orang yang masih hidup. Ia masih diberi makan, minum, rokok, sirih dan lain-lain. Menjelang upacara puncak pemakamannya barulah ia dianggap “sungguh-sungguh” telah meninggal dunia. Beberapa hari sebelum pelaksanaan upacara ia dibaringkan dengan arah utara-selatan dengan kepala menghadap ke selatan, sebelumnya ia dibaringkan ke arah timur-barat dengan kepala sebelah barat.
Disamping itu apabila seseorang meninggal di luar daerah (luar negeri) atau suatu tempat yang tidak diketahui dilakukan upacara mangrambu tampak beluak dan dipoyan angin.
1.      Mangrambu Tampak Beluak (mangrambu = mengasapi, tampak = ujung, beluak = rambut ) berlaku bagi seseorang yang meninggal di luar daerah dan jenasah tidak dapat dibawa pulang ke kampung halamannya. Untuk itu keluarga hanya membawa pakaian, ujung rambut atau ujung kuku si mati yang oleh aluk dianggap sama saja dengan si mati dan ia dapat diupacarakan sesuai dengan status sosialnya.
2.      To Dipoyan Angin (To = orang, Poya = pukat, angin = angin) berlaku bagi seseorang yang jenasahnya tidak diketemukan (mis: tenggelam di laut, hilang di hutan dan sebagainya). Seluruh keluarganya pergi ke puncak bukit dengan membawa sarung yang sebelahnya diikat untuk memukat angin. Kalau sarung itu menggelembung, maka semua wanita yang hadir menangis karena diyakini bahwa roh (jiwa) yang meninggal sudah berada dalam sarung itu. Sarung itulah yang kemudian diupacarakan sesuai dengan status sosialnya.
Karena upacara Rambu Solo’ adalah bagian dari aluk (lesoan aluk), sehingga pelaksanaannya harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan yang ditetapkan untuk itu. Salah satu faktor yang menjadi dasar pelaksanaan upacara Rambu Solo’ adalah stratifikasi sosial yang dalam masyarat Toraja dibagi ke dalam empat kelompok:
1.      Tana’ Bulaan (tana’=patokan, bulaan=emas) yaitu kasta bangsawan tinggi.
2.      Tana’ Bassi (bassi=besi) yaitu golongan bangsawan menengah.
3.      Tana Karurung (karurung=batang enau) yaitu golongan orang-orang merdeka.
4.      Tana’ Kua-kua (kua-kua=sebangsa rerumputan) yaitu golongan hamba atau budak (kaunan)
     Dengan patokan kasta tersebut maka upacara Rambu Solo’ juga dikenal dalam empat tingkatan, yaitu:
1.      Tingkat untuk golongan hamba atau budak (tana’ kua-kua):
a.       Dipasilamun Tallo’ Manuk (dipasilamun = dikuburkan dengan, tallo = telur, manuk = ayam), yaitu upacara bagi anak yang meninggal waktu lahir. Mayatnya dibungkus bersama sebutir telur ayam kemudian dikuburkan pada hari itu juga disebelah utara lumbung atau disamping rumah. Ia dikuburkan bersama urihnya, karena itu sering juga disebut dipasilamun toninna (toni=urih).
b.      Didedekan Palungan/dikambuturan Padang (didedekan=dipukul, palung=tempat makanan babi; dikambuturan=hentakan tumit kaki, padang=tanah). Upacara semacam ini diperuntukkan bagi orang dewasa yang tidak punya apa-apa dan keluarganya tidak mampu. Keluarga yang ada hanya memukulkan tempat makanan babi dan menghentakkan kaki ke tanah setelah itu mayat dikuburkan pada hari itu juga.
c.       Disilli’ yaitu bentuk upacara untuk anak-anak yang meninggal dunia yang belum tumbuh giginya, juga untuk orang dewasa yang miskin. Ia dibuatkan liang pada sebuah pohon besar sebagai kuburannya.
d.      Dibai Tungga’ (dibai=dengan babi, tungga’=satu). Dalam tingkatan ini babi yang dipotong sekurang-kurangnya satu ekor. Mayat dapat disemayamkan satu malam di rumah duka dan keesokan harinya langsung dikubur.
e.       Dibai A’pa (a’pa=empat), yaitu tingkatan dimana babi yang dipotong antara 4-10 ekor. Setelah selesai upacara di rumah duka, keesokan harinya langsung di kubur.
2.      Tingkat untuk golongan orang merdeka (tana’ karurung)
a.       Diisi (diberi gigi), yaitu untuk anak yang meninggal dunia pada waktu giginya belum tumbuh, tetapi karena ia adalah keturunan bangsawan maka ia berhak diberi korban seekor kerbau.
b.      Dipasangbongi (satu malam), biasa disebut juga ditedong tungga’(tedong=kerbau, tungga’=satu). Dalam upacara ini dipotong seekor kerbau dan minimal 4 ekor babi. Pada tingkatan ini sudah dilaksanakan badong (lagu kedukaan).
c.       Ma’tangke Patomali atau biasa juga disebut ditanduk bulaan(ma’tangke=membawa dengan tangan, patomali=kedua tangan, ditanduk=diberi tanduk, bulaan=emas) yaitu tingkatan bagi seseorang yang sebenarnya hanya layak untuk dipasangbongi (ditedong tungga’), tetapi karena diberi keistimewaan sehingga jumlah kerbau yang dipersembahkan dua ekor dan minimal 16 ekor babi. Dipatallung bongi (tiga malam). Dalam tingkatan ini jumlah kerbau yang dipersembahkan 3-4 ekor dan minimal 16 ekor babi.
3.      Tingkat untuk golongan bangsawan menengah (tana’ bassi) Untuk tingkatan ini, upacaranya dikenal dengan istilah dibatang (persiapan pesta besar) atau juga sering disebut didoya tedong (didoya=menunggui mayat,tedong=kerbau). Untuk tingkatan ini masih ada dua kategori, yaitu:
a.       Dipaling bongi (lima malam) yaitu upacara yang berlangsung lima malam. Jumlah kerbau yang dipersembahkan antara 5-7 ekor dan minimal 18 ekor babi.
b.      Dipapitung bongi (tujuh malam). Untuk kategori ini jumlah kerbau yang dipersembahkan antara 7-9 ekor dan minimal 22 ekor babi. Di daerah TalluLembangna (Makale, Mengkendek, Sangalla’) masih dikenal tingkatan yang disebut: dipapitung lompo (lompo=gemuk) dimana kerbau yang dipersembahkan 18 ekor dan babi minimal 32 ekor.
4.      Untuk golongan bangsawan tinggi (tana’ bulaan) bentuk upacaranya disebut dirapa’i. Dalam upacara ini mayat sudah dibuatkan tau-tau (patung) sebagai personifikasi dari orang yang telah meninggal dunia. Upacara Dirapa’i masih dibagi dalam 5 tingkatan:
a.       Dilayu-layu. Jumlah kerbau yang dipotong antara 9-12 ekor dan babi minimal 32 ekor.
b.      Rapasan Sundun (anak rapasan), yaitu tingkatan yang lebih tinggi dari dari upacara dilayu-layu. Jumlah kerbau yang dipotong 24 ekor dan babi minimal 32 ekor.
c.       Rapasan di baba gandang. Pada tingkatan ini jumlah kerbau yang dipotong 30 ekor dan babi minimal 32 ekor. Pada tingkatan ini khusus bagi seorang pahlawan juga dipersembahkan satu orang yaitu salah seorang budaknya atau yang diculik dari musuh (dibantai). Untuk masa sekarang korban manusia tidak lagi dilaksanakan.
E.          Prosesi Upacara Rambu Solo
Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo’ maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Jika keluarga si mati itu belum mampu melaksanakan upacara Rambu Solo, jenazah itu akan disimpan di tongkonan (rumah adat Toraja) sampai pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban untuk melaksanakan upacara tersebut. Penyimpanan jenazah itu bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Setelah pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban tersebut, barulah Rambu Solo dilaksanakan. Jenazah dipindahkan dari rumah duka ke tongkonan tammuon (tongkonan pertama tempat dia berasal). Di sana dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Torajanya Ma’tinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraja, menebas kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir.
Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari, lalu keesokan harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada agak ke atas lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama dengan di tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut.


Setelah disimpan satu hari, jenazah dipindahkan ke tongkonan yang lebih tinggi, yaitu tongkonan barebatu. Prosesinya juga sama saat jenazah itu dipindahkan ke tongkonan tammuon., yaitu penyembelihan kerbau dan pembagian dagingnya kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut.
·         Pemindahan jenazah menuju ke tongkonan
Seluruh prosesi acara Rambu Solo’ selalu dilakukan pada siang hari. Siang itu sekitar pukul 11.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita),  semua tiba di tongkonan barebatu, karena hari ini adalah hari pemindahan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante (lapangan tempat acara berlangsung).
·         Janazah berada di rante
Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di depan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya terletak di depan keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu).
·         Para wanita membawa lamba-lamba
Prosesi pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante dilakukan setelah kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda tersebut. Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita yang menarik lamba-lamba.
·         Laki-laki mengangkat keranda
Dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pada urutan pertama kita akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan tompi saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat di belakang tompi saratu ada barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba.
·         Pengarakan jenazah menuju lakkien
Jenazah tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai tempat tinggal para sanak keluarga yang datang nanti. Karena selama acara berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang berduka.
Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan diletakkan di lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum nantinya akan dikubur. Di rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas.
·         Jenazah menuju lakkien sebelum di kubur
Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada sore hari setelah prosesi penerimaan tamu selesai, dilanjutkan dengan hiburan bagi para keluarga dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan ma’pasilaga tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya para penonton, karena selama upacara Rambu Solo’, adu hewan pemamah biak ini merupakan acara yang ditunggu-tunggu.   
·         Adu kerbau yang dilakukan sebelum beberapa hari menuju penguburan
Selama beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau merupakan agenda acara berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai semua tamu-tamunya berada di tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang berada di rante. Sore harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang digemari oleh orang-orang Tana Toraja hingga sampai pada hari penguburan. Baik itu yang dikuburkan di tebing maupun yang di patane’ (kuburan dari kayu berbentuk rumah adat).

    




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya. Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau, Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya.
Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo’ maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih ’sakit’, maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya.
Sedangkan penggunaan musiknya yaitu Musik suling, nyanyian, lagu, puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah. Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman dalam “masa tertidur”
B.     Saran
        Upacara rambu solo merupakan upacara yang unik. Upacara ini banyak melibatkan masyarakat sekitar, dengan upacara ini masyarakat dapat tolong-menolong antara sesama masyarakat dan berbagi hewan yang di kurbankan dalam upacara ini. Kekerabatan masyarakat yang begitu terjaga dan menghormati tradisi leluhur dan tetap mempertahankan nya.

DAFTAR PUSTAKA
Yanuirdianto. (2014). Upacara Kematian Rambu Solo di Tana Toraja (online)    https://kuninghijau.wordpress.com/2014/02/18/upacara-kematian-rambu-solo-di-tana-      toraja/ Diakses tanggal 17 September 2017 pukul 19.43 wib
Fadli. (2014) Upacara Kematian di Tana Toraja Orang Mati yang Hidup ” Kebudayaan Terunik (Online) http://makalahfadli.blogspot.co.id/2014/03/makalah-keperawatan-transkultural-rambu.html diakses tanggal 12 desember 2017 pukul 11.10 wib
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja, Diakses tanggal 17 September 2017
pukul 19.43 wib
Victor Sumua Sanga. (2013). Rambu Solo’ Dalam Keyakinan Aluk Todolo (online)




KATA PENGANTAR
Dengan memannjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Kebudayaan Rambu Solo ( Upacara Kematian ) di Tana Toraja ”. Bertujuan untuk memenuhi tugas
serta tak lupa juga saya ucapkan terimakasih kepada rekan-rekan seperjuangan yang turut membantu dalam proses pembuatan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini dirasakan masih banyak kekurangan, baik secara sistematika penyusunan maupun penggunaan kata-kata, karena itu saya mengharapkan dengan kerendahan hati memberikan kritik dan saran yang membangun agar penulisan makalah selanjutnya lebih baik. Semoga makalah ini bisa bermanfaat khususnya bagi saya, umumnya bagi para pembaca. Demikianlah makalah ini saya buat, saya ucapkan terima kasih.  






DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
A.        Latar Belakang........................................................................................................... 1
B.        Rumusan Masalah...................................................................................................... 2
C.        Tujuan ....................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 3
A.    Sejarah Suku Toraja....................................................................................................... 3
B.     Letak Kabupaten Toraja ............................................................................................... 4
C.     Penjelasan Mengenai Rambu Solo................................................................................ 5
D.    Tingkatan-tingkatan dalam Pelaksanaan Rambu Solo’................................................. 7
E.     Prosesi Upacara Rambu Solo......................................................................................... 11
BAB III PENUTUP............................................................................................................ 14
A.    Kesimpulan.................................................................................................................... 14
B.   Saran............................................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Populer Post

On My Way